Polres Bitung dan Raport Merah Penegakan Hukum: Potret Buram Kepolisian Sulawesi Utara
KrimsusPolri.Com-Bitung – Penanganan laporan dugaan penyerobotan tanah di Polres Bitung kembali menjadi sorotan tajam. Di bawah pimpinan Kapolres AKBP Albert Zai, SIK, MH, kinerja kepolisian dinilai jauh dari harapan, dengan dua kasus besar, yakni laporan Herman Loloh dan Robby Supit, menjadi contoh nyata kegagalan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Sejak 20 Mei 2023, Herman Loloh melalui kuasa hukumnya melaporkan dugaan penggelapan dan penyerobotan tanah dengan sertifikat SHM 135 dan SHM 136 oleh PT MSM/PT TTN. Tanah seluas 18 hektar lebih itu diduga dikuasai secara ilegal oleh perusahaan tambang sejak September 2022.
Klarifikasi dari BPN Kota Bitung yang membuktikan bahwa tanah milik Herman Loloh berbeda lokasi dengan tanah yang diklaim perusahaan melalui SHM 157, seharusnya menjadi bukti kuat untuk melanjutkan kasus ini. Namun, hingga akhir 2024, tidak ada tersangka yang ditetapkan, dan berkas perkara tidak kunjung dilimpahkan ke kejaksaan.
Ironisnya, penyidik Polres Bitung justru meminta keluarga Herman Loloh membuat laporan baru dengan terlapor mantan pejabat lokal, menggeser fokus dari kasus utama. Proses yang berlarut-larut ini menunjukkan minimnya komitmen Polres Bitung dalam memberikan keadilan.
Kasus serupa menimpa Robby Supit, yang melaporkan dugaan penyerobotan tanah pada 2 Desember 2022. Hingga kini, laporan tersebut tidak menunjukkan perkembangan berarti. Kepolisian Sulawesi Utara, khususnya Polres Bitung, dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Penanganan kedua kasus ini tidak hanya melanggar asas kepastian hukum, tetapi juga bertentangan dengan KUHAP Pasal 109 Ayat 1, yang mengatur bahwa penyidikan harus segera diberitahukan kepada penuntut umum untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Selain itu, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menegaskan pentingnya asas keadilan dan kecepatan dalam proses hukum. Ketidakmampuan Polres Bitung menyelesaikan kasus ini dalam waktu 1-2 tahun mencerminkan lemahnya implementasi regulasi tersebut.
Kapolres AKBP Albert Zai dan Kasat Reskrim Iptu Gede Indra Asti Angga Pratama mendapatkan kritik keras dari masyarakat atas kinerja buruk mereka. Penyelesaian kasus yang seharusnya menjadi prioritas justru terkesan dipinggirkan.
“Kami hanya ingin keadilan. Tapi apa yang kami dapatkan? Penundaan, pengalihan isu, dan tidak ada solusi. Kepolisian seperti menutup mata terhadap hak kami,” ujar Herman Loloh penuh kekecewaan.
Robby Supit pun mengecam lambannya proses hukum yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi kepolisian. “Ini bukan lagi tentang administrasi. Ini tentang tanggung jawab moral dan profesional. Tapi sayangnya, kami hanya mendapatkan janji-janji kosong,” tegasnya.
Meski Wakapolda Sulawesi Utara Brigjen Pol. Bahagia Dachi telah memberikan perhatian khusus pada kasus ini, dengan arahan untuk segera menyelesaikan laporan dan menetapkan tersangka, Polres Bitung belum menunjukkan hasil nyata. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: di mana komitmen kepolisian dalam menegakkan hukum secara adil?
Penanganan kasus ini menjadi bukti nyata buruknya pelayanan hukum Polres Bitung. Raport merah ini tidak hanya mencoreng nama Polres Bitung tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan Kepolisian Sulawesi Utara secara keseluruhan.
Masyarakat Sulawesi Utara kini menunggu tindakan konkret dari Kapolda Sulut untuk mengevaluasi kinerja Kapolres Bitung dan jajarannya. Jika tidak, institusi kepolisian akan terus kehilangan kepercayaan publik, dan hukum akan tetap menjadi milik mereka yang memiliki kuasa.
Termasuk juga laporan Polisi (LP) dari ahliwaris Wulur ada 5 Lima laporan Polisi yang dibuat sejak (5) Juli 2024 di Polres Bitung hingga saat ini tidak ada kepastian hukum apakah seperti ini pelayanan kepolisian kepada masyarakat, jangan memihak kepada yang berduit, jalankan tugas sesuai aturan yang suda di putuskan negara kepada kepolisian negara republik Indonesia.